Selasa, 20 September 2016

Mirip Darwis Jeunieb, Siapa Pria Bersama Irwandi Yusuf?

Unknown

BIREUEN – Irwandi Yusuf bersilaturahmi dengan tim relawannya dari sejumlah daerah, di Gampong Sagoe, Kecamatan Jeumpa, Bireuen, Selasa, 13 September 2016.
Informasi diperoleh portalsatu.com, bakal calon Gubernur Aceh itu terbang dari Banda Aceh pulang ke kampung halamannya dengan pesawat pribadi. Irwandi mendarat di Bandara Malikussaleh, Aceh Utara, disambut sejumlah anggota tim relawannya, termasuk  Ketua Seuramoe Irwandi Pusat Ahmad Dani. Ada pula mantan kombatan asal Bireuen, Rajab alias Abu Jeunieb.
Jika dilihat sekilas, Abu Jeunieb mirip Darwis Jeunieb, mantan Panglima GAM wilayah Batee Iliek.  Bahkan, kata Ahmad Dani, ada anggota tim relawan Irwandi yang baru pertama kali melihat Abu Jeunieb, mulanya sempat merasa “kaget” lantaran mengira pria itu adalah Darwis Jeunieb. Setelah diperhatikan secara teliti, baru tampak bahwa pria itu bukan Darwis Jeunieb.
Abu Jeunieb kemudian duduk di samping kanan Irwandi saat berlangsung silaturahmi dengan para relawan bakal calon Gubernur Aceh itu di Gampong Sagoe. “Nan gob nyan Rajab, panggilan Abu Jeunieb. Gob nyan tim relawan (Irwandi),” ujar Ahmad Dani kepada portalsatu.com.
Abu Jeunieb (pada masa konflik) pernah meusapat ngon almarhum Bang Leman Paloh atau kerap dikenal Bang Leman Dua Krek Budee, sabab Bang Leman geu meuprang ngon dua krek budee,” kata Dani.

Pasangan Irwandi-Nova Sejalan dengan Kebutuhan Masyarakat Aceh

Unknown

MEDIAACEH.CO, Banda Aceh - DPD Partai Demokrat secara resmi mengusung Irwandi Yusuf dan Nova Iriansyah sebagai pasangan bakal calon gubernur dan wakil gubernur untuk maju dalam Pilkada Aceh 2017.
Majelis tinggi Partai Demokrat menilai mantan propaganda GAM tersebut sukses saat memimpin Aceh pada periode 2007-2012. Salah satunya adalah program Jaminan Kesehatan Aceh atau JKA.
Sekretaris Jenderal Partai Demokrat Hinca Panjaitan saat acara deklarasi pencalonan, Jumat 5 Agustus 2016, meyebutkan, beberapa program Irwandi yang dinilai populis, antara lain menggratiskan warga Aceh untuk berobat dengan hanya berbekal Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan meluncurkan program beasiswa bagi 2.500 sarjana asal Aceh untuk program studi S2. 
"Faktor tersebut yang menjadi pertimbangan DPP memutuskan mengusung dan mendukung Irwandi Yusuf, tentunya selain mempunyai kesamaan visi dan misi dalam menjaga perdamaian di Aceh," ujar Hinca.
Hasil survei internal partai, kata Hinca, juga menunjukan nada positif terhadap Irwandi, dimana tingkat elektabilitas Irwandi mencapai 35,7 persen, jauh di atas tiga pasangan lainnya.
"Pasangan Irwandi-Nova menurut kami sudah sejalan dengan kebutuhan warga Aceh," demikian Hinca.

Kamis, 08 September 2016

Irwandi Yusuf 'Menang Perang Survey'

Unknown
Banda Aceh – Beberapa hari yang lalu, acehtrend telah menurunkan Peta Kekuatan “Perang Pilkada” 2017 Aceh. Peta untuk pertarungan di level bakal calon gubernur dan wakil gubernur Aceh itu didasari pada kekuatan jumlah kursi legislatif masing-masing partai politik bagi pasangan yang menggunakan jalur partai politik, dan kekuatan KTP yang dijadikan syarat dukungan. 
Bagaimana peta kekuatan kandidat dan pertarungan yang akan dihadapi di bentangan wilayah “perang suara” seperti di pantai timur, barat, selatan dan tengah? 
Tidak mudah untuk mendapatkan hasil survey dari masing-masing lembaga survey yang ambil bagian dalam survey keterpilihan masing-masing calon di Pilkada Aceh 2017. Tapi, dari bocoran yang pernah ada nama Irwandi Yusuf pernah disebut menempati urutan teratas dalam survei calon Gubernur Aceh oleh Partai NasDem Aceh. Dalam survey yang dibocorkan oleh media pada Februari lalu , Irwandi disebut mengalahkan nama-nama beken seperti Muzakir Manaf, Tarmizi A Karim, Bahtiar Ali, Zulfan Lindan, Zaini Djalil dan Irwan Djohan.
Sayangnya, survei yang disebut dilakukan oleh Media Research Center (MRC) kemudian dibantah oleh pihak NasDem termasuk pihak MRC sendiri. Sampai saat ini, survey NasDem masih menjadi misteri yang hanya diketahui secara internal partai. Selain menyebut nama Irwandi, survey itu juga mengabarkan jika Mualem berada di peringkat kedua. 
Sedikit lebih terang jika mengacu hasil survey Jaringan Suara Indonesia (JSI), Mei 2016. Dalam rilis yang diterima media, Jum’at (5/8) disebutkan bahwa tingkat keterpilihan (elektabilitas) Irwandi 35,7%, jauh diatas tiga calon lain dimana hanya mencapai 17%, 11% dan 3,8%. Survei JSI ini disebut menjaring pendapat dari 1200 responden, dengan teknik sampel acak bertingkat dari 23 kabupaten/kota di Aceh dengan tingkat kepercayaan 95%, dan simpangan lebih kurang 2,9%.
Gambaran survey dari Jaringan Suara Indonesia (JSI) ini juga tidak berbeda dengan survey yang pernah dilakukan Jaringan Survey Inisiatif (JSI). “Irwandi Yusuf unggul dalam Survey yang dilakukan Jaringan Survey Inisiatif (JSI),  pada survey tersebut Irwandi menjadi calon kuat Gubernur Aceh Priode 2017 – 2022 mendatang, ” kata Aryos Nivada, Manajer Riset JSI pada Rabu (06/05) tahun lalu.
Bukan hanya Jaringan Suara Indonesia dan Jaringan Survey Inisiatif yang ambil bagian dalam melihat elektabilitas calon gubernur Aceh. Sebuah lembaga survey yang pernah melakukan quick count di Pilkada 2012 Aceh kini juga sedang merampungkan hasil survey mereka, namun belum diketahui bocoran hasilnya secara rinci. Namun begitu, dari perbicangan yang disebut konfidensial, tampak posisi Irwandi Yusuf sedang menyusul posisi Muzakir Manaf, yang diindikasikan sedang berada di posisi teratas.
Di samping itu, ada juga lembaga survey lainnya, yang dengan alasan masih rahasia juga belum bersedia membocorkan. Namun, dari bincang-bincang, diketahui bahwa dalam survey yang dilakukan oleh sebuah lembaga yang berdomisili di Menteng, Jakarta itu menempatkan pasangan Irwandi Yusuf – Nova Iriansyah sebagai pasangan yang paling diinginkan menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh (38 persen). Muzakir Manaf-TA Khalid di posisi kedua (20 persen), TT/TJ (19 persen), Tarmizi Karim – Zaini Djalil (16 persen) dan Zaini Abdullah – Nasaruddin (7 persen). Survey yang dilakukan pada Juni 2016 ini diklaim tidak berubah secara signifikan.
Sayangnya, survey ini tidak mengikutsertakan pasangan lainnya, seperti Zakaria Saman – T Alaidin dan Abdullah Puteh – Sayed Mustapa Usab.

(ARSIP) Kisah Terakhir Saya Bersama Cut Nurasyikin

Unknown

Kisah ini bermula ketika kami sama-sama berjuang di dalam GAM untuk pembebasan Aceh. Saya aktif dalam GAM semenjak tahun 1998. Cut Nurasyikin mulai aktif jika bukan sedikit lebih awal dari saya, tentu bersamaan dengan saya. Mulanya saya hanya mendengar nama Kak Cut, tetapi semenjak tahun 1999, yaitu menjelang Pawai Referendum Damai, saya kenal langsung dengan Perempuan Hebat ini. Ketika Aceh dibawah Jeda Kemanusiaan di era Gus Dur pada tahun 2000, Kak Cut dan Kak Masyitah pernah dipanggil rapat oleh Tgk Muhammad Lampoh Awe dan Senior Representative GAM untuk HDC karena Kak Cut dan Kak Masyitah dinilai agak banyak membuat statements publik.

Mei 2003: Darurat Militer (Darmil)


Pemerintah Megawati, atas desakan TNI (harap maklum, Mega had no own ideas), Megawati dengan meminjam mulut SBY mengumumkan Darmil untuk Aceh mulai tanggal 19 Mei jam 00:00. Bersamaan dengan Darmil atau lebih dahulu beberapa hari, Cut Nurasyikin ditangkap di Aceh. Pada tanggal 24 Mei saya ditangkap juga setelah beberapa hari berada di Jakarta untuk memulai kegiatan under ground disana. Saya ditransfer ke Aceh setelah sebulan meringkuk di dalam tahanan Polda Metro dimana saya diperlakukan cukup manusiawi. Kami mengalami perlakuan cukup hewani dalam tahanan Polres Aceh Besar (sekarang Poltabes Banda Aceh).

Ruang tahanan saya berukuran 3 x 4 meter yang berisi paling sedikit 20 orang, tak jarang pula berisi sampai 32 orang - berada bersebelahan dengan sel Kak Cut yang berisi sekitar 6 orang. Kak Cut sering membagi makanan kepada kami melalui jeruji pintu besi. Kak Cut juga yang berteriak-teriak untuk menimbulkan perhatian tatkala kami dianiaya diluar batas perikemanusiaan oleh polisi. Kalau Kak Cut sudah berteriak biasanya akan muncul perwira kesana untuk menghentikan penganiayaan itu. Ada seorang perwira yang sering muncul kala Kak Cut membunyikan "sirine"nya, namanya Budiman. Sekarang Pak Budiman adalah Kapolsek Ulee Lheue. Kak Cut divonis 14 tahun (koreksi...) dan saya diputus 9 tahun penjara. Kak Cut mendekam di Penjara Wanita Lhok Nga, sedangkan saya membusuk di Penjara Keudah. Sekali-sekali kami berbicara dengan HP seludupan. Bagi saya HP adalah alutsista untuk meneruskan perjuangan di dalam penjara.

Malam menjelang tanggal 26 Desember 2004, malam terakhir, 5 jam sebelum Tsunami.

Malam minggu, malam terakhir saya berbincang dengan Kak Cut Nurasyikin. Petikan perbincangan selengkapnya saya sajikan dibawah ini, namun bahasanya saya ubah ke dalam Bhs Indonesia, sebagian besar.

Kak Cut Nurasyikin (LP Lhok Nga) menelpon saya (LP Keudah) jam 02 dinihari tanggal 26 Desember 2004.

Kak Cut: Assalamualaikum Tgk. Agam. Peu haba di sinan? Ini Kak Cut.

Saya: Wa 'alaikumussalam, disini Jroh, haba got. Teurimonggeunaseh. 

Kak Cut: Tgk. Agam, ada yang mau saya tanyakan sedikit. Boleh, tidak? Saya sangat galau dan sedih akhir-akhir ini. 



Saya: Silahkan Kak Cut. Mau tanya apa?

Kak Cut: Begini Tgk. Agam, apakah saya masih dianggap sebagai anggota GAM oleh Pimpinan di Swedia? Kan saya dulu pernah diadili di Hotel Kuala Tripa (tempat jururunding GAM).

Saya: Oh, itu kan sudah selesai permasalahannya sejak lama. No problem. Kak Cut masih seutuhnya anggota GAM. 



Kak Cut: Tapi menurut Pimpinan di Swedia bagaimana?



Saya: Alaaa, Swedia mana tau apapun mengenai hal itu. Sudah selesai, Kak. Jangan dipikirkan lagi. Kak Cut 100% GAM. Santai aja, Kak Cut. 



Kak Cut: Alhamdulillah.... Alhamdulillah.... Berarti tidak sia-sia pengorbanan saya. Saya masih dianggap sebagai anggota GAM. Alhamdulillah. Saya pikir sudah tidak dianggap lagi. (Suara Kak Cut terisak). 

Kemudian percakapan beralih topik, ke laporan pertempuran laut di perairan dekat Belawan antara kapal perang ALRI dengan boat cepat GAM dimana boat milik GAM melakukan serangan dengan RPG-7 terhadap 2 kapal perang RI. Perajurit GAM melaporkan kepada saya sebanyak dua orang kapten kapal di dua kapal perang tersebut tewas. Beberapa bulan yang lalu saya ngobrol dengan seorang Jendral Angkatan Laut, termasuk juga menyinggung cerita jadul tentang pertempuran di laut Belawan tahun 2004, ternyata kedua Perwira AL itu tidak sampai meninggal dunia, hanya luka parah.

Kemudian, Cut Nurasyikin membuat pernyataan yang mengagetkan saya, dan saya protes keras atas pernyataan itu, karena terlalu absurd atau kabur. Tidak mungkin terjadi begitu cepat tanpa agenda apapun.

Kak Cut: Tgk. Agam, dalam waktu yang sangat dekat ini kita akan memperoleh kemerdekaan. Mungkin saya tidak sempat melihatnya, saya akan meninggal dunia sebelum kemerdekaan itu. Semoga Tgk. Agam dapat melihatnya. 

Saya: Kak Cut.... Kak Cut....!!! Omong apa itu? Gak mungkin terjadi. Tidak ada agenda apa pun tentang Aceh di UN. Jangan sampai Kak Cut telepon ke lapangan, takut nanti timbul eforia yang tidak logis di kalangan pasukan kita, dan menjadi lengah. 

Kak Cut: Ya... Ya... Tgk Agam, tapi ini pasti. Saya jamin kita akan mengalami kemerdekaan, tapi saya tidak sempat melihatnya......

Saya (memotong): Stop.... Stop.... Kak Cut, jangan teruskan lagi. Gak mungkin, gak mungkin!!!

Kak Cut: Benar, Tgk. Agam, benar omongan saya. Teungku lihat saja nanti tanggal 30 Abraham Lincoln beserta ribuan tentara Amerika akan mendarat di Aceh, lalu diikuti ribuan tentara dari banyak negara berduyun-duyun ke Aceh.

Saya: Nyan ka kon.... Nyan ka kon.... (Ini sudah tidak logis). Darimana sumber beritanya, darimana sumber beritanya? Tolong Kak Cut sebutkan sumber beritanya. Tolong jangan Kak Cut propagandain ahli propaganda. 

Kak Cut: Dari BBC....

Kak Cut terdesak dengan pertanyaan saya maka dia jawab sekenanya saja, dari BBC.

Saya: Ho....ho.... Kak Cut, saya dengar BBC 24 jam sehari, 7 hari seminggu. Gak ada berita itu. Yang benar aja, darimana sumbernya?

Tut tut tut..... Telepon putus. Saya coba telepon lagi, tapi tidak tersambung. Saya perkirakan HP Kak Cut kehabisan baterai. Jam menunjukkan pukul 03:15 dinihari tanggal 26 Desember 2004. Saya tidur.

EPILOG
Esok hari, sekitar pukul 07:20 tanggal 26 Desember 2004 gempa 9.1 SR mengguncang Aceh. Saya yang lumayan banyak membaca termasuk tentang mekanisme gempa dan dampaknya, berkeliling penjara mengabarkan bahwa gempa ini berpotensi Tsunami. Tetapi saya tidak pernah berpikir Tsunaminya begitu dahsyat. Palingan sepinggang, pikir saya. Namun untuk mengantisipasi segala hal, saya ikat sepatu sport saya erat-erat dan saya masukkan HP dan rokok Marlboro merah saya kedalam kantong plastik lalu saya ikat dengan karet. Tak lama Tsunami pun datang bagaikan kiamat. Saya menyelamatkan diri keatas atap mushalla di tingkat dua menunggu surutnya air.

Pada hari ke-3 pasca Tsunami saya kabur ke Jakarta via Medan. HP mulai aktif lagi pada hari ke-3. Nur Djuli dll saya sms untuk mengabarkan bahwa saya masih hidup. Bungkus rokok Marlboro merah saya perlihatkan kepada aparat sweeping di jalan raya seolah KTP Merah Putih, dan saya lolos.

Srikandi Aceh Cut Nurasyikin telah syahid dalam Tsunami. Tidak ada yang berhasil keluar hidup dari Penjara Lhok Nga.

Sore hari tanggal 30 Desember, saya tiba di Jakarta. Tak lama kemudian, muncul sms dari Nur Djuli: "Abraham Lincoln landed". Saya balas sms: "Apa itu Abraham Lincoln?" Rasanya out of context. Lalu Nur Djuli menjelaskan bahwa Kapal Induk Amerika telah masuk Aceh membawa ribuan tentara.

Pruuuuummmm..... Kontan saya teringat apa kata Almarhumah Cut Nurasyikin, "Teungku lihat saja tanggal 30 nanti Abraham Lincoln beserta ribuan tentara Amerika akan mendarat di Aceh, lalu diikuti ribuan tentara dari banyak negara berduyun-duyun ke Aceh". Saya memang tidak "ngeh" waktu itu ketika Kak Cut Nur Asyikin menyebut nama Abraham Lincoln maksudnya apa.

Tentang berdatangannya puluhan ribu tentara asing ke Aceh sesuai dengan vision Almh Cut Nur Asyikin sewaktu Beliau menelpon saya pada dinihari tanggal 26 Desember 2004, 5 jam sebelum Beliau syahid dalam Tsunami, adalah FAKTA. Akan halnya vision merdeka baru dapat diterjemahkan ke dalam 2 hal: merdekanya ratusan ribu roh Rakyat Aceh ke surga karena Tsunami, atau merdeka kecil - perdamaian dan otonomi khusus bagi yang hidup.

Ilaa nabiyil mustafa wa ilaa syaikuna, wa amiruna, wa ilaa ummuna wa abuwaina, wa ilaa arwahi Cut Nurasyikin dan semua korban Tsunami, Al-Fatihah........

Sekian. Lebih dan kurang saya mohon maaf.


Sumber: status facebook pak Irwandi Yusuf tanggal 13 september 2014.

Membaca Pesan Simbolik Irwandi Yusuf di Taman Budaya

Unknown


“Mengapa acara konferensi pers pasangan Irwandi Yusuf – Nova Iriansyah dilangsungkan di Taman Budaya Banda Aceh?
Itulah pertanyaan yang muncul ketika membaca pesan dari WathApp. “Acaranya di Taman Budaya,” kata Munawar Liza Zainal.
Saya yang sudah berada di Taman Sari balik arah. Bukan menuju ke tempat acara, Taman Budaya, melainkan ke kantor. Badan yang agak meriang akhirnya menggiring saya ke selembar tikar di kantor, untuk istirahat.
Tapi, pertanyaan mengapa acara politik digelar di Taman Budaya masih menggeluti alam renungan saya.
Dari media online saya membaca berita, jika acara konferensi pers itu dibuka dengan suguhan Tari Guel. Alam renungan saya makin penasaran.
Terus terang, ini acara politik yang menarik, dan mengandung pesan simbolik yang amat kuat, menandakan gerak politik yang ingin dijalankan oleh pasangan yang juga mengandung aura dua kutub politik yang pernah terjadi dalam kisah sejarah di negeri ini, Aceh – Linge. Sama seperti aura politik yang ada pada pasangan Zaini Abdullah – Nasaruddin.
Dalam suasana hening di kantor, karena rekan-rekan sedang bertugas di luar, saya teringat renungan lama di Taman Budaya.
Dahulu, usai magrib semasa masih ada Hasyim KS dan Maskirbi, kami sering duduk-duduk sore atau usai magrib di salah satu sudut Taman Budaya. Ragam perbincangan mengalir bebas, dan sebagai anak muda kala itu saya lebih banyak menjadi penangkap pikiran yang mengalir.
Salah satu yang masih saya ingat adalah pernyataan yang mengatakan “politik tanpa budaya kering, dan budaya tanpa politik kabur.” Sayangnya saya lupa siapa yang mengucapkan quote itu.
Quote itu amat sangat mempengaruhi alam pikiran saya dikemudian hari. Bagi saya politik sejatinya adalah revolusi kebudayaan yang membutuhkan tersedianya kekuatan politik yang handal, sekaligus mengharuskan adanya gerakan kebudayaan yang terorganisir.
Politik dan budaya mestinya menjadi sahabat karib, dan keduanya mestilah saling melengkapi, saling mempengaruhi, tidak bisa dipisahkan, apalagi sampai saling cerai mati.
Sayangnya, politik di tangan orde baru, berhasil mencerai beraikan politik dan budaya. Nyaris keduanya menjadi dunia yang terpisah dan saling menjauh. Akibatnya, iklim pembangunan yang terbangun saat ini sepenuhnya konsumtivisme dan nir produktif.
Dua penyakit inilah yang kemudiaan menjadi penyebab negeri kita terus menerus terjebak dalam kekuasaan yang dikelola dengan tindakan koruptif, dan aparatur serta rakyat yang sebatas menjadi konsumen, termasuk sebatas menjadi konsumen politik.
Kekuasaan dijadikan kapital, dan partai politik menjadi basis produksi politisi-politisi yang menjadikan kekuasaan sebatas modal bagi pemenuhan konsumtivismenya, baik secara individu atau kelompok.
Kini, petani yang menggarap tanahnya makin berkurang, nelayan yang berlayar di laut makin sedikit, pedagang yang mengelola pasar dari kerja rakyat juga makin terbatas. Semuanya berlomba menjadikan APBA sebagai lahan utamanya.
Jadilah petani APBA, nelayan APBA, pedagang APBA, termasuk seniman dan budayawan APBA. Semua baru berkerja manakala ada dukungan APBA. Makanya, yang ditempuh adalah membangun relasi-relasi politik dengan para politisi.
Persembahan Tari Guel mungkin menjadi simbol bahwa pasangan Irwandi – Nova akan bersiap melakukan revolusi kebudayaan sebagai syarat perbaikan kekuasaan yang berbudaya. Irwandi Yusuf yang mewakili kutup kekuasaan (Aceh) dan Nova Iriansyah yang mewakili kutup kebudayaan (Gayo) akan menjadi simbol revolusi kebudayaan untuk menghasilkan kekuasaan yang lebih berbudaya.
Dari apa yang diwartakan portal antara tentang visi dan misi pasangan Irwandi-Nova saya menemukan spirit dan etik pertemuan politik dan kebudayaan yang menyatu.
“Pemerintahan yang bersih itu adalah pejabat yang ada di lingkungan Pemerintah Aceh khususnya berprilaku bersih dengan mengutamakan kepentingan masyarakat dibanding kepentingan kelompok dan pribadi,” kata Irwandi Yusuf yang turut didampingi bakal calon Wakil Gubernur, Nova Iriansyah.

Suasana kantor makin sepi, cuaca makin redup, tanda-tanda langit akan hujan sangat mungkin terjadi, dan badan yang meriang menuntun untuk segera pulang ke rumah. Kehendak untuk mencermati gerak politik kebudayaan pasangan Irwandi – Nova makin menjadi-jadi, dan berharap lewat Pilkada kali ini visi kebudayaan para kandidat dapat makin terbaca. Semoga! []

Profil Nova Iriansyah

Unknown
Nova Iriansyah adalah putra Gayo. Ia berasal dari Linung Bulen I, sebuah kampung di Kecamatan Bintang, Aceh Tengah. Meski tak lahir dan besar di kampung itu, tapi Nova mengecap pendidikan sekolah dasar di SD Negeri 3 Takengon. Itulah sebabnya, ia berusaha menyempatkan diri menjenguk kampung leluhur ketika pulang ke Tanah Gayo.

Ia lahir di Banda Aceh 22 November 1963. Awalnya ia lebih dikenal sebagai dosen, usahawan, dan arsitek di Banda Aceh. Mengajar di Jurusan Teknik Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Syiah Kuala, (1989 s/d 2006), Komisaris PT. Mega Desain Konsultan dan PT. Archie Forum Konsultan, (2006 s/d 2008). Meraih gelar Magister Teknik Arsitektur (S-2), ITB Bandung – 1998, dan Sarjana Teknik Arsitektur (S-1), ITS Surabaya – 1988.

Tapi dunia politik seolah memanggilnya pulang. Nova kemudian bergabung dengan Partai Demokrat dan memimpin Dewan Pengurus Daerah Partai Demokrat Provinsi Aceh 2006-2011, dan kemudian mengantarkannya ke Senayan sebagai Anggota DPR RI dari daerah pemilihan NAD-1 pada Pemilu 2009 silam. Dia pula yang menjadi Ketua Tim Kampanye Daerah (TIMKAMDA) SBY-Boediono, Provinsi Aceh pada Pilpres 2009 yang meraih kemenangan fantastis 94 %. Persentase tertinggi yang diraih SBY-Boediono di seluruh Indonesia. 

Darah politik memang takkan pernah berhenti mengalir dari dalam tubuh pria jangkung ini. Ayahnya, HM Nurdin Sufie, adalah politisi kawakan yang menjadi Bupati Aceh Tengah pada 1970-1974, dan berhasil meletakkan pondasi pembangunan Aceh Tengah, sebelum kemudian dilanjutkan dan diisi oleh bupati berikutnya, HM Beni Banta Cut, BA. 

“Saya memang berada dalam lingkungan politik. Bapak yang memperkenalkannya,” kata Nova. Dunia politik itu pula akhirnya menjadi muara hidupnya. Berkiprah sebagai wakil rakyat di Senayan, bukanlah sebuah pekerjaan mudah. “Aceh memerlukan perhatian besar karana baru saja selesai konflik dan tsunami,” kata Nova. Inilah yang dia suarakan di ruang-ruang sidang Komisi V, komisi yang membidangi infrastruktur dan perhubungan. 

Sebagai putra Gayo, Nova ingin tetap merawat identitasnya. “Kemanapun pergi, saya tetap Gayo,” katanya. Ia berusaha tetap berkomunikasi dalam bahasa Gayo dan memperkenalkan kebudayaan Gayo dalam keluarganya. Nova menikah dengan DR Ir Dyah Erti Idawati, MT dan dikaruniai dua anak yang beranjak dewasa, Riandy Oyadiwa (18 Thn) dan Ghaqa Dirgandana (16 Thn).