“Mengapa acara konferensi pers pasangan Irwandi Yusuf – Nova Iriansyah dilangsungkan di Taman Budaya Banda Aceh?
Itulah pertanyaan yang muncul ketika membaca pesan dari WathApp. “Acaranya di Taman Budaya,” kata Munawar Liza Zainal.
Saya
yang sudah berada di Taman Sari balik arah. Bukan menuju ke tempat
acara, Taman Budaya, melainkan ke kantor. Badan yang agak meriang
akhirnya menggiring saya ke selembar tikar di kantor, untuk istirahat.
Tapi, pertanyaan mengapa acara politik digelar di Taman Budaya masih menggeluti alam renungan saya.
Dari
media online saya membaca berita, jika acara konferensi pers itu dibuka
dengan suguhan Tari Guel. Alam renungan saya makin penasaran.
Terus
terang, ini acara politik yang menarik, dan mengandung pesan simbolik
yang amat kuat, menandakan gerak politik yang ingin dijalankan oleh
pasangan yang juga mengandung aura dua kutub politik yang pernah terjadi
dalam kisah sejarah di negeri ini, Aceh – Linge. Sama seperti aura
politik yang ada pada pasangan Zaini Abdullah – Nasaruddin.
Dalam suasana hening di kantor, karena rekan-rekan sedang bertugas di luar, saya teringat renungan lama di Taman Budaya.
Dahulu,
usai magrib semasa masih ada Hasyim KS dan Maskirbi, kami sering
duduk-duduk sore atau usai magrib di salah satu sudut Taman Budaya.
Ragam perbincangan mengalir bebas, dan sebagai anak muda kala itu saya
lebih banyak menjadi penangkap pikiran yang mengalir.
Salah
satu yang masih saya ingat adalah pernyataan yang mengatakan “politik
tanpa budaya kering, dan budaya tanpa politik kabur.” Sayangnya saya
lupa siapa yang mengucapkan quote itu.
Quote
itu amat sangat mempengaruhi alam pikiran saya dikemudian hari. Bagi
saya politik sejatinya adalah revolusi kebudayaan yang membutuhkan
tersedianya kekuatan politik yang handal, sekaligus mengharuskan adanya
gerakan kebudayaan yang terorganisir.
Politik
dan budaya mestinya menjadi sahabat karib, dan keduanya mestilah saling
melengkapi, saling mempengaruhi, tidak bisa dipisahkan, apalagi sampai
saling cerai mati.
Sayangnya,
politik di tangan orde baru, berhasil mencerai beraikan politik dan
budaya. Nyaris keduanya menjadi dunia yang terpisah dan saling menjauh.
Akibatnya, iklim pembangunan yang terbangun saat ini sepenuhnya
konsumtivisme dan nir produktif.
Dua
penyakit inilah yang kemudiaan menjadi penyebab negeri kita terus
menerus terjebak dalam kekuasaan yang dikelola dengan tindakan koruptif,
dan aparatur serta rakyat yang sebatas menjadi konsumen, termasuk
sebatas menjadi konsumen politik.
Kekuasaan
dijadikan kapital, dan partai politik menjadi basis produksi
politisi-politisi yang menjadikan kekuasaan sebatas modal bagi pemenuhan
konsumtivismenya, baik secara individu atau kelompok.
Kini,
petani yang menggarap tanahnya makin berkurang, nelayan yang berlayar
di laut makin sedikit, pedagang yang mengelola pasar dari kerja rakyat
juga makin terbatas. Semuanya berlomba menjadikan APBA sebagai lahan
utamanya.
Jadilah
petani APBA, nelayan APBA, pedagang APBA, termasuk seniman dan
budayawan APBA. Semua baru berkerja manakala ada dukungan APBA. Makanya,
yang ditempuh adalah membangun relasi-relasi politik dengan para
politisi.
Persembahan
Tari Guel mungkin menjadi simbol bahwa pasangan Irwandi – Nova akan
bersiap melakukan revolusi kebudayaan sebagai syarat perbaikan kekuasaan
yang berbudaya. Irwandi Yusuf yang mewakili kutup kekuasaan (Aceh) dan
Nova Iriansyah yang mewakili kutup kebudayaan (Gayo) akan menjadi simbol
revolusi kebudayaan untuk menghasilkan kekuasaan yang lebih berbudaya.
Dari
apa yang diwartakan portal antara tentang visi dan misi pasangan
Irwandi-Nova saya menemukan spirit dan etik pertemuan politik dan
kebudayaan yang menyatu.
“Pemerintahan
yang bersih itu adalah pejabat yang ada di lingkungan Pemerintah Aceh
khususnya berprilaku bersih dengan mengutamakan kepentingan masyarakat
dibanding kepentingan kelompok dan pribadi,” kata Irwandi Yusuf yang
turut didampingi bakal calon Wakil Gubernur, Nova Iriansyah.
Suasana
kantor makin sepi, cuaca makin redup, tanda-tanda langit akan hujan
sangat mungkin terjadi, dan badan yang meriang menuntun untuk segera
pulang ke rumah. Kehendak untuk mencermati gerak politik kebudayaan
pasangan Irwandi – Nova makin menjadi-jadi, dan berharap lewat Pilkada
kali ini visi kebudayaan para kandidat dapat makin terbaca. Semoga! []